Iklan Dinas PUPR Aceh Barat
News  

YLBH-KI: Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Aceh Barat Tak Bisa Restorative Justice

Foto pendukung terlampir: Anggota YLBH-KI Aceh Barat, Deni Setiawan. (Foto: Dokumen pribadi)

BSINews.id | Aceh Barat – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Indonesia (YLBH-KI) perwakilan Aceh Barat, mendesak Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Barat untuk mengevaluasi kejadian kekerasan terhadap anak di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Pante Ceureumen.

“Kedua instansi pemerintah tersebut harus mengambil langkah kongkrit dan mengevaluasi ponpes yang telah melakukan kekerasan terhadap anak dengan cara mengikat dan mengoles cabai ke sekujur tubuhnya. Polisi pun wajib mendalami kasus ini,” kata anggota YLBH-KI Aceh Barat, Deni Setiawan di Meulaboh, Ahad, 6 Oktober 2024.

Iklan Dinas PUPR Aceh Barat

Menurut Deni, kasus kekerasan menimpa anak di bawah umur ini perlu diusut tuntas, tanpa ada upaya restorative justice atau menempuh upaya damai sesuai Qanun Aceh No 9 tahun 2008 yang dapat diselesaikan di desa sebagai jalur damai.

Upaya-upaya sedemikian, kata Deni, tak bisa dilakukan untuk menghentikan berbagai proses-proses hukum keadilan terhadap pelaku kekerasan anak yang diduga pelaku tidak lain merupakan isteri dari salah satu pimpinan ponpes tersebut.

“Harus diusut tuntas. Jangan sampai ada kesan liar bahwa kekerasan lingkup pendidikan di Aceh Barat adalah hal yang lumrah. Jika demikian kekhawatiran anak dan orang tua di luar daerah akan enggan dan takut untuk mondok,” ujarnya.

Deni setiawan menyebutkan, tindakan kekerasan terhadap peserta didik di ponpes ini sebagai alternatif mendidik dengan cara memberikan hukuman sedemikian adalah suatu kekejaman.

BACA JUGA:  Tak Hanya Menambah Cita Rasa Masakan, Ini Lima Manfaat Mengkonsumsi Bawang Putih

“Tentunya persoalan menimpa peserta didik ini suatu hal tak wajar, yang justru mencoreng nama baik pendidikan di Aceh Barat. Proses hukum ini harus dan wajib kita kawal bersama,” sebutnya.

Pengawalan hukum kasus kekerasan ini, ucap Deni, bukan tanpa alasan. Sebab dengan adanya proses hukum, maka akan memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan itu sendiri.

Selain itu, melalui penegakan hukum ini juga mempunyai tujuan meminimalisir terjadinya hal serupa kemudian hari. Sehingga nama baik dalam ranah pendidikan dan ponpes (dayah) akan terlindungi.

”Keberlangsungan mental korban tentunya harus diperbaiki. Jadi tidak bisa ditukar dengan penyelesaian melalui restorative justice dan Qanun No 9 tahun 2008 yang mempunyai 18 jenis perkara yang dapat diselesaikan di desa,” katanya.

Deni menyampaikan pendapatnya, bahwa kasus persilisihan atau kasus biasa patut untuk ditindaklanjuti melalui upaya restorative justice dan Qanun No 9 tahun 2008. “Namun, tidak dengan kasus santri di ponpes tersebut,” pungkasnya.[]