BSINews.id | Banda Aceh – Pemangkasan dana Transfer Keuangan Daerah (TKD) sebesar Rp200 triliun dalam Rancangan APBN 2026 dinilai dapat mempersempit ruang fiskal daerah dan berpotensi menghambat pembangunan ekonomi di tingkat lokal. Hal ini disampaikan oleh ekonom dari Universitas Syiah Kuala, Chenny Seftarita, dalam Diskusi Publik: 7 Desakan Darurat Ekonomi yang digelar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) USK, Selasa (14/10/2025).
Menurut Chenny, kebijakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan semangat otonomi daerah, tetapi juga dapat menimbulkan kesenjangan fiskal antarprovinsi.
“Ruang fiskal daerah akan semakin sempit. Kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur akan menurun. Bahkan, banyak daerah nanti hanya mampu membayar belanja rutin seperti gaji ASN dan PPPK,” jelasnya.
Ia menambahkan, perubahan mekanisme pencairan TKD yang kini dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat dapat memperlambat proses penyaluran dana.
“Sebelumnya, daerah memiliki kewenangan mengelola keuangan secara mandiri. Namun kini, 200 triliun itu akan dikelola oleh pusat. Ini jelas berlawanan dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah,” ujarnya.
Dosen FEB USK itu juga menyoroti potensi meningkatnya high cost economy akibat penyesuaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mungkin diambil pemerintah daerah untuk menutupi kekurangan TKD.
“Daerah akan mencari sumber dari PAD, salah satunya menaikkan pajak. Ini bisa berdampak pada kenaikan biaya ekonomi dan memberatkan masyarakat,” imbuhnya.
Selain soal TKD, Chenny juga menyoroti urgensi menjaga independensi Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Menurutnya, kebijakan burden sharing antara BI dan pemerintah yang diatur dalam UU P2SK dapat mengikis kemandirian lembaga tersebut.
“Pemerintah bisa menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dan dibeli oleh BI. Ini seperti jeruk makan jeruk. Kalau BI digunakan untuk membiayai defisit fiskal, maka independensinya dipertanyakan,” ungkapnya.
Chenny menegaskan, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa ketika BI kehilangan independensinya, risiko ekonomi meningkat, termasuk inflasi dan menurunnya kepercayaan investor.
“Kita sudah melihat yield obligasi negara naik, yang menandakan investor menilai risiko Indonesia meningkat. Karena itu, BI harus kembali pada marwahnya sebagai otoritas moneter yang independen,” tegasnya.
Diskusi publik tersebut merupakan bagian dari rangkaian pembahasan 7 Desakan Darurat Ekonomi yang diinisiasi Program Studi Ekonomi Pembangunan FEB USK bersama Aliansi Ekonom Indonesia (AEI).



