BSINews.id | Aceh Barat – Ketua Wahana Generasi Aceh (Wangsa), Jhony Howord, menyayangkan sikap pemerintah pusat telah melarang 18 petugas Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 putri untuk tidak memakai hijab. Awal terkuak dugaan pelarangan tersebut setelah adanya pengukuhan anggota Paskibraka.
“Indonesia akan memperingati HUT RI ke-79. Kami menilai larangan pakai jilbab bagi Paskibraka putri akan merusak citra dan martabat seorang perempuan agama islam, karena itu saya rasa kemerdekaan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh masyarakat,” ujar Jhony Howord.
Sebelumnya, kata Jhony, kabar pelarangan mengenakan hijab ini terkuak ke publik seusai pengukuhan 18 petugas Paskibara HUT RI ke-79 oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Ibu Kota Nusantara (IKN), pada Selasa, 13 Agustus 2024 kemarin.
“Saat ini dunia Paskibraka dihebohkan dengan isu pelarangan pakai jilbab bagi Paskibraka putri. Sebab dari 18 Paskibraka putri yang sebelumnya mengenakan jilbab, semuanya tidak mengenakan jilbab saat prosesi pengukuhan,” kata Jhony.
Dijelaskannya, Purna Paskibraka Indonesia (PPI) menduga pencopotan hijab para anggota Paskibraka perempuan ini terjadi karena adanya tekanan dari pihak yang bertanggung jawab atas Paskibraka 2024, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Kejadian serupa pernah terjadi pada tahun 2007, ketika larangan memakai jilbab bagi anggota Paskibraka di Kediri menuai kecaman dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Pun demikian pada tahun 2010, isu serupa mencuat ketika calon anggota Paskibraka putri asal DKI Jakarta dihebohkan dengan perintah berdiri telanjang sebelum mandi dan hukuman jalan jongkok tanpa pakaian.
“Dengan beberapa kali isu serupa muncul seharusnya sudah ada regulasi yang ditetapkan,” jelasnya.
Jhony Howord menilai, kejadian ini merupakan pengkhianatan terhadap sila pertama Pancasila. Ia menegaskan negara seharusnya menjamin kebebasan beragama dan menjaga toleransi.
Menurutnya, Aceh sendiri, sebagai pelopor pengiriman anggota Paskibraka berhijab. Dengan adanya larangan ini tentu merasa terdiskriminasi terhadap salah satu agama yaitu Islam.
“Ironisnya, ini terjadi pada saat menjelang peringatan kemerdekaan. Maka, apa artinya kemerdekaan hari ini selain memperhalus kata diperbudak dan dijajah,” ujar Jhony.
Berkaitan larangan itu, Jhony mengingatkan pada tanggal 15 Agustus juga merupakan hari peringatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia.
Salah satu butir perdamaian tersebut adalah penegakan syariat Islam di Aceh. Larangan berhijab ini, menurutnya, sama saja dengan melarang Aceh untuk berkontribusi di kancah nasional.
Oleh karena itu, Wangsa meminta agar pemerintah Aceh bersikap serius terhadap persoalan tersebut. Sebab, kata Jhony, persoalan ini menyangkut harga diri Aceh, terlebih lagi banyak tokoh Aceh yang selama ini begitu vokal dalam mengkritisi isu waria yang melibatkan nama Aceh.
“Politisi dan tokoh Aceh sudah kompak mengkritisi isu waria sampai digugat, maka seharusnya persoalan ini lebih mendapatkan perhatian. Secara tidak langsung, negara telah membatasi kebebasan beragama dan membatasi Aceh untuk maju ke tingkat nasional,” tukas aktivis muda itu.
Persoalan terhadap larangan memakai hijab ini, diharapkan dapat segera diselesaikan mengingat peringatan HUT RI ke-79 tinggal menghitung hari.
“Jika persoalan ini tidak ditanggapi serius oleh politisi dan pemerintah Aceh, maka sudah saatnya rakyat Aceh bergerak dan melakukan revolusi kepemimpinan di Aceh,” pungkas Jhony.[]