Iklan Dinas PUPR Aceh Barat

Narasi Sejarah Aceh Harus Dijaga agar Tidak Hilang di Era Global

Antropolog Reza Idria menyampaikan pandangan tentang identitas budaya Aceh di tengah era digital. Foto: Malika Islami Arifa.

BSINews.id | Banda Aceh – Antropolog Aceh, Reza Idria, menekankan pentingnya menjaga identitas dan memori budaya di tengah perubahan zaman yang serba digital. Menurutnya, generasi muda Aceh kini hidup dalam apa yang disebut para peneliti sebagai platform society, di mana cara berpikir dan berinteraksi banyak dibentuk oleh dunia digital.

“Rata-rata anak muda sekarang menghabiskan sebagian besar waktu dan pikirannya di platform digital. Ini berimplikasi besar terhadap konsepsi kebudayaan yang kita bicarakan hari ini,” ujar Reza, Jumat (19/9/2025).

Iklan Dinas PUPR Aceh Barat

Ia menjelaskan, narasi tentang kejayaan sejarah Aceh yang kerap didengar sejak kecil memang menjadi motivasi banyak orang untuk menuntut ilmu dan mencari jati diri. Namun, Reza mengingatkan bahwa dunia terus berubah.

“Narasi lama tetap penting, tetapi generasi sekarang punya preferensi dan cara pandang berbeda. Transformasi ini juga akan berpengaruh pada politik dan budaya Aceh ke depan,” jelasnya.

Dalam pemaparannya, Reza mengangkat pengalaman pribadinya ketika belajar di Belanda. Ia menemukan banyak artefak sejarah Aceh tersimpan di museum dan perpustakaan Leiden.

“Ini bukti bahwa pada masa lalu Aceh pernah memproduksi gagasan besar yang termaterialisasi dalam kebudayaan. Tapi sekarang, pengetahuan itu sering hanya tersimpan di ruang akademik, tidak menjadi memori kolektif masyarakat,” katanya.

Ia juga menyinggung hubungan Aceh dengan Amerika, khususnya Kota Salem, yang punya ikatan sejarah panjang dengan perdagangan lada Aceh sejak abad ke-17. Hubungan itu sempat dihidupkan kembali saat masyarakat Salem membantu Aceh pascatsunami 2004. Namun, 20 tahun kemudian, generasi muda di sana justru mempertanyakan kembali simbol dan narasi sejarah tersebut.

BACA JUGA:  Pelaku Curanmor Asal Sumut Diringkus Satreskrim Polres Nagan Raya di Banda Aceh

“Ini menunjukkan memori sejarah bisa rapuh. Kalau kita tidak merawatnya, narasi itu bisa hilang atau ditolak,” ujarnya.

Reza menekankan, generasi muda Aceh harus proaktif mengartikulasikan identitas dan kebudayaan, bukan hanya untuk konsumsi internal, tetapi juga untuk dunia internasional. Ia bahkan menyinggung perlunya keterlibatan lembaga global seperti UNESCO agar memori budaya Aceh mendapat pengakuan internasional.

Selain itu, Reza juga menyoroti pentingnya keterlibatan perempuan dalam diskursus kebudayaan dan politik Aceh. “Kalau bicara identitas, jangan sampai hanya laki-laki yang tampil. Perspektif perempuan juga bagian penting,” tegasnya.

Di akhir, ia mengingatkan kembali makna politik sebagai ruang bersama (polis), bukan sekadar urusan kekuasaan atau ekonomi. “Saya percaya anak-anak muda Aceh bisa mengembalikan marwah politik dan budaya ke jalurnya. Politik itu bukan untuk kepentingan dapur pribadi, tapi demi kemaslahatan masyarakat,” tutup Reza.