BSINews.id | Banda Aceh – Di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap arah ekonomi nasional, dosen Universitas Syiah Kuala (USK) Saiful Mahdi, mengingatkan bahwa kampus tidak boleh diam. Menurutnya, perguruan tinggi adalah ruang terakhir tempat lahirnya harapan dan gagasan perubahan bagi bangsa.
Hal itu disampaikan Saiful dalam Diskusi Publik “7 Desakan Darurat Ekonomi” yang digelar oleh Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) USK bekerja sama dengan Aliansi Ekonom Indonesia (AEI), Selasa (14/10/2025).
“Kampus harus tetap bersuara. Di saat banyak pihak bungkam, akademisi justru wajib berbicara berdasarkan data dan nurani,” ujarnya di FEB USK Banda Aceh.
Saiful mengatakan, desakan yang digulirkan oleh AEI bukan sekadar kritik, tetapi bentuk tanggung jawab moral para ekonom terhadap situasi bangsa. Ia menyebutkan, lebih dari 400 ekonom dari berbagai universitas di Indonesia telah menandatangani pernyataan bersama yang menyoroti tujuh masalah darurat dalam perekonomian nasional, mulai dari defisit APBN hingga pelemahan kemandirian daerah.
“Ini bukan sekadar angka dan teori, tapi soal arah masa depan bangsa. Kalau kebijakan ekonomi tidak dikoreksi, dampaknya akan terasa di masyarakat paling bawah,” tegasnya.
Menurutnya, mahasiswa juga memiliki peran penting dalam menjaga kesadaran publik atas isu-isu kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Ia mendorong agar 7 Desakan Darurat Ekonomi dijadikan bahan penelitian dan diskusi ilmiah di kampus.
“Mahasiswa bisa menjadikannya topik skripsi, tesis, atau disertasi. Dengan begitu, suara akademik akan terus hidup,” tuturnya.
Dalam konteks Aceh, Saiful menyoroti pentingnya membangun ekonomi hijau dan ekonomi halal sebagai arah baru pembangunan daerah. Ia menilai, sistem ekonomi yang masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam tidak lagi relevan dan bisa mengancam perdamaian jangka panjang.
“Ekonomi hijau adalah ekonomi Islam itu sendiri. Prinsipnya menjaga keberlanjutan hidup udara, air, dan bumi. Kalau kita kehilangan semua itu, kita kehilangan masa depan,” jelasnya.
Saiful juga menegaskan bahwa perdamaian Aceh tidak bisa dijaga hanya dengan kesepakatan politik, tetapi dengan memastikan masyarakat memiliki kesejahteraan ekonomi yang adil.
“Kalau ekonomi kita masih merusak alam dan menyengsarakan rakyat, itu bukan pembangunan. Itu jalan menuju krisis baru,” tambahnya.
Diskusi yang diikuti akademisi, mahasiswa, dan perwakilan lembaga ekonomi tersebut berlangsung hangat. Selain Saiful Mahdi, hadir pula panelis dari Universitas Indonesia dan USK yang membahas kebijakan fiskal, independensi Bank Indonesia, serta ketimpangan fiskal daerah dalam bingkai 7 Desakan Darurat Ekonomi.



