Dari Ikrar Lamteh ke MoU Helsinki, Apa yang Sudah dan Belum Tercapai?

Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Prof. Mawardi, memberikan keterangan kepada wartawan usai diskusi refleksi 20 Tahun Damai Aceh, Selasa (12/8/2025). Foto: Malika Islami Arifa.

BSINews.id | Banda Aceh – Guru Besar Hukum Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail, menegaskan bahwa setelah dua dekade perdamaian Aceh, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap butir-butir kesepakatan yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Menurutnya, perdamaian Aceh memiliki sejarah panjang, dimulai dari penyelesaian pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melalui Ikrar Lamteh, yang kemudian dilanjutkan dengan keputusan Perdana Menteri Hardi. Namun, kesepakatan itu lemah secara hukum.

“Kalau Ikrar Lamteh dikuatkan dengan keputusan Perdana Menteri yang tidak mengikat, MOU Helsinki berbeda. Dia dikuatkan dengan undang-undang, sehingga punya kekuatan memaksa,” ujar Mawardi usai menjadi narasumber dalam Diskusi Publik Refleksi 20 Tahun Damai Aceh di UIN Ar-Raniry, Selasa (12/8/2025).

Mawardi menyebut, selama 20 tahun pelaksanaan perdamaian, ada poin yang berjalan baik, ada yang berjalan dengan tantangan, dan ada pula yang tidak terlaksana sama sekali. Ia mencontohkan, zakat sebagai pengurang pajak penghasilan hingga kini belum dijalankan, meski telah diatur dalam UUPA.

“Beberapa hal itu wajib direvisi sesuai ketentuan perundang-undangan. Misalnya persyaratan calon gubernur, kewenangan Mahkamah Agung yang dalam UUPA seharusnya disesuaikan dengan Mahkamah Konstitusi untuk sengketa pilkada, hingga penetapan nama Aceh yang mestinya dengan PP, bukan Pergub,” jelasnya.

Ia juga menyoroti kewenangan Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, pembahasan revisi UUPA harus dilakukan secara partisipatif dan transparan.

BACA JUGA:  17 Pejabat Dilantik, Empat Dinas di Aceh Barat Alami Kekosongan Jabatan

“Jangan tiba-tiba sudah ada hasil. Harus terbuka, melibatkan banyak pihak, dan ada kajian yang matang. Ini penting untuk memperkuat posisi Aceh ke depan,” tegasnya.

Mawardi berharap, evaluasi ini tidak hanya bersifat formalitas, tetapi benar-benar menghasilkan perubahan yang memperkuat otonomi Aceh sesuai amanat perdamaian