BSINews.id|Banda Aceh – Komunitas Hindu Tamil di Kampung Kedah, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, memang terlihat sedikit, jumlah mereka hanya sekitar 25 jiwa. Namun keberadaan mereka tetap terjaga. Tiap tahun, mereka tetap melaksanakan Cithirai Maha Puja, ritual keagamaan memperingati kelahiran Dewa Murugan, tanpa gangguan.
“Kami ini minoritas. Tapi kami merasa dilindungi. Justru saudara-saudara muslimlah yang sering membantu, apalagi setelah tsunami. Waktu kami kehilangan segalanya, mereka yang pertama datang,” ujar Rada Krisna, pendeta di kuil tersebut.
Bukan hanya bantuan materi, tetapi juga soal ruang hidup dan spiritual. Ketika pelaksanaan puja berlangsung selama tiga hari berturut-turut, warga sekitar tidak hanya memberi ruang, tapi juga mendukung dengan menjaga suasana agar tetap tenang.
“Banyak yang bilang Banda Aceh intoleran. Tapi siapa saja yang mau datang lihat langsung ke sini, pasti akan berubah pikiran,” tambahnya.
Menurutnya, penegakan syariat Islam di Aceh tidak pernah menjadi masalah bagi umat Hindu.
“Kami tahu aturan mainnya. Pakai pakaian sopan, tidak mencolok. Kalau perempuan kami tak pakai jilbab, itu wajar karena kami non-muslim. Yang penting tetap menghormati,” ujarnya.
Kampung Kedah menjadi bukti nyata bahwa keberagaman bisa hidup berdampingan. Rada menyebut ada kesamaan budaya yang tidak disadari banyak orang.
“Daun temuru yang kami pakai untuk ritual, juga dipakai dalam masakan Aceh. Bahkan budaya peusijuk mirip dengan pemberkatan dalam tradisi kami.”
Komunitas kecil ini tidak hanya menjalankan ibadah, tetapi juga aktif dalam berbagai forum masyarakat. Setiap bulan, mereka ikut rapat kampung, menyuarakan pendapat, dan saling menjaga satu sama lain.
“Intinya sederhana: kami menghormati, dan kami dihormati. Itu saja,” tutup Rada Krisna**