BSINews.id | Aceh Barat – DPRK Aceh Barat mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) bersama masyarakat Desa Suak Pante Breuh, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat, di aula kantor DPRK setempat, Kamis, 1 Februari 2024.
RDP diselenggarakan itu, membahas persoalan lahan kebun plasma yang berada di dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT Prima Aceh Agro Lestari (PT PAAL) perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
PT PAAL ikut diundang DPRK setempat untuk masuk ke dalam pembahasan RDP guna membicarakan persoalan yang dilaporkan masyarakat. Namun, PT PAAL mangkir dari panggilan dewan dengan alasan tertentu.
Wakil Ketua I DPRK Aceh Barat, Ramli SE mengatakan, hasil kesepakatan bersama dalam RDP tersebut, Pemkab Aceh Barat akan mempelajari dan memeriksa berkas data dari pengaduan masyarakat tentang lahan perkebunan kelapa sawit plasma.
“Saat RDP berlangsung tadi, perwakilan dari eksekutif menyatakan akan bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan lahan kebun plasma di HGU PT PAAL,” kata Ramli.
“Terkait ketidakhadiran pihak PT PAAL mungkin karena direkturnya Lee In Tjan tidak berada di tempat, tapi saya pikir bagus juga karena ada surat pemberitahuan,” sambungnya.
Menurut Ramli, Pemkab Aceh Barat harus bersikap tegas dan konsisten untuk menyelesaikan permasalahan lahan kebun plasma antara PT PAAL dengan masyarakat desa tersebut.
Sebab, dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar, menyebutkan lahan kebun plasma harus di luar HGU.
“Boleh kita salahkan perusahaan, tapi dengan catatan kebun plasma masyarakat di luar HGU perusahaan. Di Aceh Barat ini bukan hanya PT PAAL bermasalah, tapi hampir semua perusahaan perkebunan kelapa sawit bermasalah,” ujarnya.
Tempat sama, Ketua Tuha Peut Desa Suak Pante Breuh, Ahmadi mengatakan, terdapat 450 hektar lahan milik warga di desa setempat, diberikan pinjam pakai kepada PT PAAL dengan syarat pembagian hasil.
“Saat pertama kali perusahaan tersebut masuk ke desa kami, 450 hektar lahan kami berikan izin untuk dipakai, dengan catatan 265 hektar lahan kebun kelapa sawit inti perusahaan, dan 185 hektarnya lagi lahan kebun kelapa sawit plasma untuk warga,” katanya.
Namun, sejak lahan itu diberikan, sebut Ahmadi, hingga sampai saat ini warga belum menerima hasil apapun dari PT PAAL. Ditambah lagi, belum terealisasinya kebun plasma warga yang dijanjikan perusahaan.
“Dari 185 hektar lahan kebun plasma dijanjikan itu, baru terealisasi 69 hektar, tapi hasil panen kelapa sawit pada lahan 69 hektar itu pun belum ada kejelasan sama sekali sampai dengan hari ini,” bebernya.
Ia bersama pihak warga lainnya mengaku, khawatir dengan adanya persoalan tersebut. Apalagi, warga selama ini menerima uang pinjaman (bukan kompensasi) dari PT PAAL perbulannya yaitu Rp 200 ribu per KK sejak tahun 2015.
“Ini lah yang kami takuti dengan adanya pinjaman uang dari PT PAAL itu, dan ditakuti ini jebakan untuk mengambil lahan milik warga. Maka dari itu perlu diselesaikan melalui RDP,” imbuhnya.
Kendati demikian, perangkat desa dan warga berkomitmen mengawal segala proses tahapan penyelesaian persoalan pada lahan 450 hektar milik warga dalam HGU PT PAAL.
“Untuk sementara ini, kami akan menghentikan segala aktivitas PT PAAL di lahan milik warga, dengan cara memblokir jalan hauling kelapa sawit di Desa Suak Pante Breuh,” pungkasnya.[]